Upaya Mengurangi Pemanasan Global

Sumber:Buletin Cipta Karya - 01 Agustus 2007
Kategori:Umum
Isu perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global (global warming) mulai menjadi buah bibir yang membuat dahi para penghuni bumi berkerut sejak diadakan Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992. Hal itu berlanjut pada tahun 1997 dengan Protokol Kyoto yang menghasilkan kesepakatan bagi beberapa Negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Efek rumah kaca punya peran penting dalam menghangatkan bumi yang berisi mahluk hidup. GRK yang berada di atmosfir seperti karbon dioksida, metana, serta nitroksida dalam konsentrasi tertentu berfungsi menahan energi panas matahari ke bumi sehingga bumi menjadi hangat dan mahluk di dalamnya dapat hidup nyaman.

Tetapi bila konsentrasi GRK makin bertambah akibat meningkatnya kegiatan manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil, pembakaran dan penggundulan hutan secara berlebihan, maka suhu permukaan bumi akan naik dan kemudian disebut dengan pemanasan global.

Pemanasan global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Adapun di belahan bumi lain akan mengalami musim kering berkepanjangan akibat kenaikan suhu. Benua Amerika, sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar, mengakibatkan peningkatan curah hujan selama 1990 2000. Sebaliknya di Benua Afrika curah hujan menurun, padahal kadar emisi C02 yang dihasilkan rendah. Selain itu, permukaan laut juga akan naik yang mengakibatkan beberapa pulau kecil akan hilang dan efek negatif lainnya. Sektor pertanian, perikanan, kehutanan dan kesehatan juga tak akan luput dari pemanasan global ini.(Kompas, 23 Juni 2007).

Indonesia bukan termasuk penghasil gas rumah kaca yang besar, tetapi menerima dampak dari pemanasan global, seperti pola curah hujan yang tidak menentu yang mengakibatkan banjir dan kekeringan di beberapa tempat pada saat bersamaan.

Protokol Kyoto

Protokol Kyoto menghasilkan perjanjian internasional dimana lebih dari 100 negara telah bersatu danmembuat komitmen untuk mengurangi pemanasan global. Salah satunya adalah Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Pada konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil pada Juni 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan yang dikenal dengan United Nations Conference on Environment and Development, para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC).

Konvensi ini bertujuan untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca ke atmosfir sampai pada tingkat tertentu agar tidak membahayakan sistem iklim bumi. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 1994 dan telah lebih dari 180 negara yang juga melakukan ratifikasi.

Dalam rangka mencapai tujuan konvensi tersebut, maka sebuah tata cara penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) diadopsi di Kyoto tahun 1997, yang kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto. Pada Protokol Kyoto ini disepakati target dan jadwal penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang harus dilakukan oleh negara maju, yaitu penurunan sebesar 5% dari tingkat emisi pada tahun 1990 dengan periode pencapaian dalam kurun waktu 2008 2012. Negara-negara maju yang ditargetkan menurunkan emisi gas nya kemudian disebut sebagai Negara negara Annex 1 dan negara negara tanpa target penurunan emisi disebut Negara Non Annex 1. Indonesia merupakan negara non Annex 1 dan telah melakukan ratifikasi Protocol Kyoto pada tahun 2004.

CDM dan potensi di Indonesia

Dalam Protocol Kyoto, tersedia tiga mekanisme fleksibel dalam upaya pencapaian target penurunan emisi GRK, yaitu Emissions Trading (ET) atau perdagangan emisi antar negara maju, Joint Implementation (JI) atau pelaksanaan penurunan emisi secara bersama sama antar negara maju), dan Clean Development Mechanism (CDM) atau kerjasama antara negara maju dan negara berkembang.

Saat ini di Indonesia makin gencar dikenalkan CDM. Meski demikian, masih banyak dipertanyakan orang tentang mekanisme tersebut, jangan-jangan hanyalah perangkap yang akan membuat kita membeli dan tergantung pada teknologi asing.

Kriteria yang penting dalam proyek CDM adalah bahwa proyek harus mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia, juga harus menghasilkan pengurangan emisi GRK seperti C02, metana dan nitroksida yang nyata dan terukur serta menghasilkan penurunan emisi yang tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan dari CDM.

Kegiatan di atas dapat dari berbagai sektor yang cukup potensial di Indonesia. Sektor yang dimaksud, pertama, Industri pembangkitan energi (dari sumber sumber terbarukan dan tidak terbarukan). Kedua, energi

terbarukan untuk listrik (panas bumi, biomas, dan PLTA). Ketiga, Migas (pengurangan gas flaring, efisiensi energi dan emisi metana larian). Keempat, Aforestasi dan Reforestasi. Kelima, Transportasi.

Keenam, industri kelapa sawit, semen, besi baja. Ketujuh, industri kimia. Kedepalan, penghematan energi pada bangunan (penggunaan lampu dan alat lain yang hernat energi). Kesembilan, pertanian dan peternakan (biogas dan pengurangan emisi CH, N20). kesepuluh, penanganan dan pembuangan limbah. Kesebelas, Tempat Pembuangan/Pengolahan Akhir (TPA) sampah melalui penangkapan gas metana dan pengolahan gas metana menjadi listrik. (redaksi)



Post Date : 01 Agustus 2007