Wajah Gersang di Bali

Sumber:Kompas - 28 Agustus 2008
Kategori:Kekeringan

Timor atau Nusa Tenggara Timur umumnya dikenal sebagai daerah kering, gersang, dan tandus. Pemandangan hijau hanya bisa disaksikan pada musim hujan yang waktunya sangat terbatas, sekitar 3-4 bulan, antara November dan Februari.

Sebaliknya, pada musim kemarau, sinar matahari terasa menusuk tajam. Daratan, terutama di Timor dan Sumba yang berbalut sabana, berubah warna menjadi kecoklatan. Selanjutnya lenyap dilalap api yang bersumber dari sistem berladang tebas bakar. Bisa juga bersumber dari rangkaian kebiasaan penduduk untuk memudahkan kegiatan berburu rusa, celeng, atau hewan liar lainnya. Pembakaran padang sabana juga dilakukan peternak agar bisa lebih cepat mendapat hijauan ternak bagi hewan piaraan mereka setelah berbulan bulan mengurus akibat kelangkaan pakan.

Bisa diduga sesudahnya, yang tersisa adalah tanah gundul kehitaman. Cuatan batu atau cadas aneka ukuran atau gundukan karang runcing dan garang langsung terlihat berserakan. Berbagai jenis pohon yang tumbuh jarang rata rata meranggas kering. Hanya sejumlah jenis pohon tertentu yang biasanya mampu bertahan menumbuhkan daun hijau. Kelompok pohon terakhir ini di antaranya jenis pohon asam, kesambi, lontar, pohon duri, dan kayu putih.

Saat kemarau itu pula balutan kemiskinan terasa semakin menggigit. Perumahan rakyat, terutama di pedesaan yang lebih mirip disebut gubuk reot, dari kejauhan langsung tampak karena tidak lagi terhalang lapisan semak yang musnah dilalap api. Pada saat yang sama, keluhan bahkan jeritan kesulitan air bersih atau bahkan kelaparan, menggema luas. Ketika stok makanan yang dihasilkan dari kebun, seperti jagung, padi, dan umbian habis, penduduk pun mulai keluar masuk hutan mencari bahan makanan alternatif, seperti umbi hutan, buah asam, dan buah bakau atau putak (jenis makanan yang diolah dari batang gewang, sebangsa palem).

Karena sering menimpa masyarakat, kekurangan bahkan kehabisan bahan makanan di rumah seperti tidak lagi menjadi berita. Persoalan seperti itu seakan telah menjadi keseharian masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).

Persoalan klasik lain yang rutin menimpa warga NTT adalah krisis air bersih. Kasus ini pun—setidaknya bagi warga setempat—tidak lagi menjadi hal mengejutkan, apalagi menarik perhatian luas. Mereka seakan menjadi maklum kalau krisis air bersih atau kelaparan adalah bagian dari kekhasan hidup di daerah kering dan tandus seperti umumnya di NTT.

Wajah bopeng Bali

Arifintus Foni (31) asal Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) di Pulau Timor (NTT), sekitar lima tahun mengadu nasib sebagai pengemudi di Denpasar, Bali. Sejauh ini Arifintus memiliki gambaran Bali adalah pulau atau provinsi yang wilayah daratannya terpelihara baik. Buktinya, di mana-mana selalu menyuguhkan pemandangan hijau, segar sekaligus sejuk dan damai.

Pemahaman seperti itu tentu bisa dibenarkan karena ia masuk Pulau Bali melalui pesisir selatan. Arifintus sejauh ini pula lebih sering menjelajahi Bali bagian selatan, terutama Denpasar, Badung, Gianyar, dan sekitarnya. Hanya sesekali mengunjungi kawasan bagian tengah dan barat pulau itu. Kalau ke kawasan bagian timur, sejauh ini hingga Amlapura, kota Kabupaten Karangasem. Keseluruhan kawasan itu rata rata dengan gambaran relatif sama: hijau, sejuk, dan segar dari lingkungan yang umumnya terpelihara apik.

Apalagi di Denpasar, Badung, dan Gianyar, sosoknya sangat tegas menggambarkan tingkat kesejahteraan yang terus melambung. Potret seperti itu sangat dimungkinkan karena kawasan tersebut merupakan nadi pariwisata Bali yang mengalirkan gelimang dollar bagi Pulau Dewata.

Seorang rekan dari Jakarta bernama Bowo pernah berdecak kagum atas kemajuan yang dicapai Pulau Dewata. Kekaguman itu terlontar saat ia berkeliling di kawasan Denpasar, Kuta, Nusa Dua, Jimbaran, dan sekitarnya, April lalu. Salah satu indikator kemajuan yang ia catat adalah keberadaan berbagai jenis mobil yang melintas di kawasan itu. ”Bali memang luar biasa, hampir semua jenis mobil mewah dan mahal di dunia ada di Bali,” tuturnya.

Namun, Arifintus—sangat mungkin juga Bowo dengan reaksi sama—begitu terkejut ketika pada Selasa dan Rabu (6/8) lalu menerobos hingga pedesaan di Kabupaten Karangasem, persisnya saat menyusuri kawasan Seraya (bagian Kecamatan Karangasem) dan Kecamatan Kubu. Betapa tidak, kawasan pesisir yang menghadap Selat Lombok dan Laut Jawa itu—di mata Arifintus—tidak jauh berbeda dengan wajah gersang dan tandus Pulau Timor dan sejumlah pulau lain di NTT.

”Ternyata di Bali juga ada daerah tandus. Kalau dari pemandangan di kawasan ini (saat memasuki kawasan Seraya ke arah Kubu) keadaannya mirip dengan NTT, terutama di Timor,” kata bujangan asal Kampung Usapitoko, Desa Amol, Kecamatan Miomafo Timur, sekitar 20 km dari Kefamenanu, kota Kabupaten TTU di Pulau Timor, NTT.

Seperti disaksikan, kawasan Seraya, Kubu, dan sebagian wilayah Kecamatan Abang memang dikenal sebagai daerah kering dan tandus di Pulau Bali. Hampir seluruh kawasan itu berupa lereng dan tebing terjal. Pepohonan juga tumbuh jarang hingga balutan semak perdu menjadi pemandangan meluas. Pada puncak kemarau seperti sekarang, rerumputan yang mengering mulai rontok. Lalu, pemandangan yang mencuat sesudahnya adalah serakan batu atau cadas hitam aneka bentuk dan ukuran yang nyaris memenuhi permukaan tanah kawasan itu. Pemandangan seperti itu antara lain bisa disaksikan di Desa Seraya Tengah, Seraya Timur, Watumana, Bunutan, dan wilayah Kubu umumnya.

Khusus di Kubu, kawasan kering dan tandus terbentang hampir merata di seluruh wilayah seluas 23.472 hektar. Camat Kubu I Wayan Sutapa bahkan mengakui sekitar 90 persen wilayahnya merupakan kawasan kritis dan tandus. ”Bahkan, sekitar 35 persen wilayah Kubu berupa lahan kering yang sama sekali tidak biasa ditanami apa apa,” ujarnya kepada Kompas, Selasa (5/8).

Kawasan tandus Kubu bertambah parah menyusul letusan Gunung Agung di kawasan hulu tahun 1963. Pasir dan batu aneka ukuran muntahan gunung saat itu dilaporkan sempat mengubur kawasan sekitarnya hingga setinggi 5-6 meter. ”Menurut catatan masyarakat, dulu sebelum gunung meletus, wilayah Kubu pernah memiliki lebih dari 40 sumber air. Menyusul letusan Gunung Agung, lebih separuh terkubur dan hilang hingga sekarang,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokoler Pemerintah Kabupaten Karangasem I Komang Agus Sukasena pada kesempatan terpisah.

Seperti diakui pasangan Ketut Ngatih (49)-Ni Made Murti (45), warga Banjar Tana Barak di Desa Seraya Timur, tumpuan utama hidup mereka adalah mengolah lahan kering ditanami jagung dan umbian ditambah usaha beternak babi dan sapi. Namun, usaha mengolah lahan itu tidak maksimal karena hanya memanfaatkan lapisan tanah di antara celah cadas. ”Batunya sangat banyak,” kata Ni Made Murti.

Made Bandra (27), juga petani dari banjar yang sama, mengakui, kebun warga di kawasan itu umumnya berareal luas, bisa mencapai sekitar 1 hektar per keluarga petani. Itu berarti jauh lebih luas daripada kebun serupa milik petani di kawasan lain yang rata rata di bawah 1 hektar. ”Kebun kami di sini memang lebih luas daripada kebun petani di daerah lain. Namun, bagian lahan yang ditanami mungkin hanya sekitar separuhnya karena permukaan lahan berserakan cadas,” kata Bandra.

Kecuali permukaan daratan yang kering dan tandus, kawasan Seraya dan juga Kubu masih menyisakan sejumlah kesamaan dengan NTT. Di antaranya, kedua kawasan itu sejak lama sama sama dalam belenggu krisis air bersih ketika memasuki musim kemarau. Sejumlah sungai yang saat musim hujan tak jarang mengantarkan banjir ganas langsung berubah menjadi alur kering saat kemarau. Terobosan melalui sumur bor atau sumur gali pun untuk mengatasi kesulitan air minum nyaris sia-sia karena memang miskin kandungan air tanah.

Kesamaan lain dengan NTT, di kawasan Seraya dan juga Kubu masih banyak kediaman penduduk yang berupa bangunan sangat sederhana bahkan mirip gubuk. Salah satu contoh adalah kediaman milik pasangan Ketut Ngatih-Ni Made Murti. Rumah keluarga dengan dua anak di perkampungan terpencil itu luasnya sekitar 24 meter persegi, tetapi kondisinya sangat reot. Bagian atap ditutup genteng tua, sebagiannya sudah rontok. Begitu pula bagian dinding dari anyaman gedek (belahan bambu) yang disambung daun kelapa dan berlantai tanah di atas fondasi tua yang tidak rampung dan mulai tontok.

Ni Made Murti mengakui, tumpuan hidup keluarganya hanya dari kebun jagung. Ada juga usaha ternak sapi (4 ekor) dan babi (3 ekor). Namun, diakui pula, hasil kebun sering tidak cukup untuk makan hingga kadang-kadang harus menjual sapi atau babi untuk membeli beras atau jagung dan kebutuhan lain. ”Kami tidak mampu memperbaiki, apalagi membangun rumah yang lebih baik,” kata Wayan Suarjana (20), salah seorang dari dua anak pasangan Ketut Ngatih-Ni Made Murti.

Dari kunjungan hingga kawasan Seraya dan Kubu di Kabupaten Karangasem, 5-6 Agustus lalu, setidaknya telah mengubah pemahaman Arifintus Foni tentang Bali yang selama ini bergambar serba molek, hijau, sejuk, damai, dan wah. Kini dia menyaksikan Bali ternyata masih menyisakan bagian wilayah yang bopeng, yakni daerah tandus, gersang, bahkan miskin, di perkampungan Seraya dan Kubu. Kawasan itu mirip potret wajah tandus NTT. FRANS SARONG



Post Date : 28 Agustus 2008