Wajarlah Kp Melayu Kebanjiran

Sumber:Media Indonesia - 06 November 2008
Kategori:Banjir di Jakarta

Bantaran Sungai Ciliwung dihuni 71.000 kepala keluarga. Wajarlah kawasan Kampung Melayu selalu terendam. 

Dari 13 sungai yang membelah Jakarta, Sungai Ciliwung paling besar menampung pemukim liar. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, Pitoyo Subandrio, mencatat 71.000 kepala keluarga atau sekitar 350 ribu jiwa, yang telah menetap di sana.

Tak heran bila air kiriman yang cuma sedikit di atas normal seperti Senin (3/11) lalu sudah mengakibatkan banjir setinggi 2,5 meter di Jl Kampung Melayu Kecil I.

Sesungguhnya genangan air tidak setinggi itu. Kapasitas air di Pintu Air Manggarai pada ukuran +7,5 meter. Saat itu, air yang mengalir di Sungai Ciliwung berada pada ketinggian 7,9 meter. Jadi, sebenarnya luapan yang terjadi hanya sekitar 40 cm.

"Permukiman di situ sudah sampai empat tingkat ke bawah. Jadi yang banjir tinggi itu di permukiman liar," ujarnya, kemarin. Bukan hanya Ciliwung, ke-12 sungai lainnya juga telah menyempit karena pembangunan permukiman liar di kanan dan kiri.

Selain permukiman liar, pembangunan perumahan mewah juga menyumbang sempitnya aliran sungai. Di pinggir Kali Krukut, misalnya, berdiri perumahan elite Kemang dengan tembok kuat dan tinggi. Padahal, menurut Pitoyo, pembangunan rumah di pinggir sungai harus menyisakan lahan. Yang terjadi justru rumah mepet ke kali.

Selain itu, rawa di sepanjang bantalan Kali Sunter Hilir. Rawa itu berfungsi sebagai tempat parkir air sebelum mengalir ke laut utara, tetapi sekarang sudah berubah menjadi mal dan Apartemen Kelapa Gading. "Seperti itulah, jadi lama-lama sungai semakin sempit dan enggak bisa lagi dilalui air."

Jalan keluarnya harus dimulai dengan pengerukan. Permukiman liar di pinggir sungai ditertibkan sebab sampah yang mereka produksi saja sudah cukup besar.

Berdasarkan hitungan Kasubag Pengumpulan serta Pengolahan Data Humas dan Protokol DKI Nurjanah, produk sampah dari sungai sekitar 768 m3 per hari atau 3% dari total sampah Jakarta (6.000 ton per hari). Sedangkan volume sampah laut terapung di Teluk Jakarta mencapai 20.428 m3-28.435 m3 per hari. Sampah tersebut dibawa aliran 13 sungai yang berhulu di Puncak.

Tampaknya, banjir akan terus menghantui Jakarta karena Pemprov DKI belum punya solusi bagaimana menormalisasi sungai dengan memindahkan seluruh pemukim liar. Bank Dunia sudah mengucurkan dana Rp1,2 triliun untuk kepentingan itu.

"Kami sudah menyiapkan rumah susun, tetapi mereka tidak mau pindah. Mereka lebih suka kebanjiran. Mereka bilang paling cuma seminggu. Apalagi setiap kebanjiran selalu mendapat bantuan sandang dan pangan," cetus Gubernur Fauzi Bowo.

Padahal, pangkal masalah bukan mereka kebanjiran, melainkan keberadaan mereka menyebabkan banjir di DKI. Solusi jangka pendek, lanjut Fauzi, sungai harus terus dikeruk, diturap, dan dinormalisasi. Berhubung pencairan pinjaman Bank Dunia masih dalam proses administrasi, biaya pengerukan diambil dari APBD DKI 2008 sebesar Rp22,5 miliar. (Ssr/Che/J-1)



Post Date : 06 November 2008