Warga NTT Masih Menunggu Solusi Sumur Bor

Sumber:Kompas - 04 September 2007
Kategori:Air Minum
Ny Marta Haning (42) berdiri di bawah bayangan pohon lontar sambil menenteng sebuah jeriken kosong. Terik matahari timur begitu menggigit. Rasa dahaga kian menjadi tatkala ia memandang hamparan di depannya, nyaris tanpa rumput hijau.

Yang disaksikan hingga kaki langit hanya rumput savana yang mengering. Air di rumahnya di Desa Naibonat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah dua pekan terakhir tidak mengalir. Ia bingung, ke mana mencari air.

"Musim kemarau sekarang sulit mendapatkan air. Hanya ada beberapa sumur milik warga, tetapi mereka melarang warga lain mengambil airnya agar tidak cepat kering," ujar Haning di Naibonat, Kamis (30/8).

Jika ada pemilik sumur yang merelakan air sumurnya bagi warga lain, kebutuhannya dibatasi, semisal hanya untuk minum dan memasak. Adapun air untuk kebutuhan mandi, mencuci, dan sanitasi (WC) harus dari sumber lain. Air digunakan sehemat mungkin.

Penyakit kulit, wabah diare, dan gizi buruk tidak terhindarkan. Jika tidak segera ditangani, penyakit ini akan mendatangkan kematian bagi anak di bawah usia lima tahun.

Haning salah satu dari ribuan warga NTT yang sejak lama mengalami krisis air bersih. Dari 19 kabupaten/kota di NTT dilaporkan hanya lima kabupaten yang relatif cukup kebutuhan air bersihnya. Selebihnya, atau 14 kabupaten/kota, hingga sekarang belum lepas dari persoalan klasik yang selalu menimpa terutama di puncak kemarau itu.

Lihat saja di Belu, kabupaten yang berbatasan langsung dengan tepi barat Timor Timur (Timor Leste). Hingga tiga tahun lalu (2004) hanya 8 persen warga Belu yang menikmati air bersih. Belakangan jumlah warga kelompok ini bertambah menjadi sekitar 12 persen. Itu setara dengan 48.000 jiwa. Penduduk Belu kini mencapai 400.000 jiwa, termasuk eks pengungsi Timor Timur.

"Air dari Lahurus sudah dialirkan hingga Atambua (kota Kabupaten Belu), tetapi krisis air masih menerpa karena keran air di rumah-rumah mati-hidup meski tidak sekerap dulu," tutur Yosep Bani, warga Atambua.

Hubertus Kun Bana, anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), di Kefa mengakui sebagian besar warga TTU termasuk di Kefa hingga kini masih dilanda krisis air bersih. Menurut catatannya, air dari kawasan Gunung Mutis telah sampai Kefa tahun 2004, tetapi hingga sekarang belum didukung jaringan distribusi memadai sehingga kebutuhan air bersih bagi masyarakat sekitarnya belum semuanya terpenuhi. Keadaan ini diperparah jaringan pipa yang sejauh 40 kilometer antara sumber air hingga Kefa sehingga sangat rawan terjadinya kebocoran karena ulah manusia atau sebab lainnya.

Hubertus Kun Bana berpendapat, untuk mengatasi kesulitan air bersih di TTU, bahkan di NTT, diperlukan solusi seperti pembangunan sumur bor. Katanya, penerapan teknologi sumur bor justru bisa mengoptimalkan pengolahan pekarangan, sawah, atau lahan lainnya, yang sejak lama hanya menunggu hujan.

Ia menunjuk utara TTU yang memiliki dua lokasi sawah, yakni hamparan Ponu sekitar 300 hektar dan Kaubele sekitar 400 hektar. Kedua hamparan ini diolah hanya sekali setahun, yakni saat hujan turun. Selebihnya menjadi lahan telantar. "Kalau sudah didukung sumur bor, kedua hamparan itu pasti diolah pada musim kemarau sekalipun, apakah ditanami padi, jagung, atau sayuran," katanya.

Silverius Mau, aparat setempat, mengakui pemerintah daerah kini memberdayakan sejumlah sumber air tanah melalui sumur bor agar semakin banyak warga menikmati air bersih. Salah satu langkah konkretnya, Belu bekerja sama dengan LIPI Jakarta dua tahun lalu melakukan penelitian khusus potensi air tanah di kabupaten itu. Hasilnya, di Belu setidaknya terdapat 30-40 titik lokasi berpotensi kandungan air tanah. Lokasinya hampir merata di semua wilayah, tetapi terbanyak di kawasan selatan Belu.

"Kalau tentang potensi kandungan air, Belu sebenarnya sudah memiliki data lengkap dari hasil penelitian tersebut. Sementara pemberdayaan potensi air itu masih ditunggu dan memang dimungkinkan melalui teknologi sumur bor," kata Silverius.

Direktur Perkumpulan Masyarakat Penanggulangan Bencana NTT Julius Nakmofa mengatakan pihaknya bekerja sama dengan sebuah lembaga donor internasional, Oxfam, pada akhir 2006 membangun masing-masing satu sumur di 52 dusun dalam wilayah Kabupaten Belu. Sumur-sumur itu mampu memenuhi kebutuhan air bersih 130.000 penduduk sekitarnya.

Kawasan NTT umumnya mengalami tiga bulan hujan dan sembilan bulan kemarau. Hujan pun tidak merata, dan frekuensinya terbatas. Ada sejumlah wilayah sangat kering, tetapi di tempat lain sampai terjadi longsor. Pohon dan rumput yang berfungsi menyerap dan menyimpan air tanah ditebang dan dibakar. Akibatnya, permukaan buminya gundul sehingga air hujan tidak menyerap ke dalam tanah, sebaliknya mengalir ke sungai dan terus ke laut.

NTT memiliki 40 sungai dengan panjang 25-118 kilometer, seperti Sungai Benanain dan Sungai Noelmina di Pulau Timor. Sungai-sungai itu hanya mengalir bahkan sering mengantarkan banjir pada musim hujan. Sebaliknya memasuki kemarau, air sungai mengering.

Pejabat Pembuat Komitmen Pendayagunaan Air Tanah Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) NTT Djibrail Klaping di Kupang, Kamis lalu, mengatakan, gambaran agak berbeda. Katanya, sudah sekitar 50 persen penduduk NTT terlayani air bersih oleh pemerintah. Menurut dia, pemerintah melalui Dinas Kimpraswil telah membangun 1.000 lebih sumur bor, tersebar di 14 kabupaten/kota di NTT.

Meski begitu, ia mengakui, permintaan masyarakat akan sumur bor terus mengalir. Rata-rata setiap bulan 10-15 permohonan tertulis diajukan, tetapi sulit dilayani semuanya karena keterbatasan dana. "Biaya satu sumur bor Rp 450 juta sampai Rp 500 juta," ujarnya.

Terlepas dari catatan biayanya yang mahal, gambaran yang didapat cukup menjelaskan bahwa solusi sumur bor sangat ditunggu mengatasi kesulitan air bersih di NTT. Seorang pejabat di NTT pernah berucap, krisis air bersih di NTT atau daerah lainnya seharusnya tidak terjadi jika keahlian dan keberhasilan Indonesia dalam pengeboran sumber migas yang jauh dalam perut bumi juga diterapkan untuk pengeboran kandungan air tanah. KORNELIS KEWA AMA dan FRANS SARONG



Post Date : 04 September 2007