Warga Pekayon Hidup dengan Hiasan Limbah

Sumber:Republika - 23 Desember 2004
Kategori:Air Limbah
Selama belasan tahun nasib mengenaskan menimpa warga Pekayon, Jakarta Timur. Limbah busa selalu menggenangi rumah mereka setiap hujan turun. Setiap hujan turun sejak 1990 limbah busa setinggi 2-10 meter kerap menutupi 20 rumah milik warga RT 07, 09, dan 010 RW 07 Kelurahan Pekayon, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Limbah busa tersebut tidak hanya mengubur rumah warga, tetapi juga semua benda yang ada di sekitar rumah, seperti mobil, pohon, tiang listrik, dan jalan. Kondisi di sana makin parah karena muncul aroma busuk yang sangat menyengat. Bau berasal dari air Kali Cipinang.

Hitam pekat memang mendominasi warga air Sungai Cipinang. ''Warga sini sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini,'' ujar Kasim, warga yang sudah tinggal di sana sejak 1993. ''Mungkin kalau orang luar sudah sesak napas dan pusing mencium bau busuk tersebut,'' kata pria 44 tahun ini. Posisi rumah warga di ketiga RT tersebut memang dilalui aliran air Situ Tipar yang bermuara ke Kali Cipinang. Kali yang berkelok-kelok dan turun dengan terjal mirip air terjun kecil menyebabkan pada saat hujan turun air yang mengandung limbah teraduk dengan kuat sehingga menimbulkan tumpukan busa di sekitar air terjun. Makin lama tumpukan limbah busa tersebut menutupi benda-benda yang ada di sekitar air terjun.

Kondisi itu menyebabkan warga harus bergotong-royong membersihkan tumpukan busa yang menempel pada bagian luar rumah. ''Gimana bisa keluar rumah untuk pergi kerja kalau busa masih menutupi pintu keluar?'' keluh Budi (34), warga RT 010. Yusuf pun mengalami nasib serupa dengan Budi. Rumah keduanya selalu tertimbun limbah busa jika hujan turun. Syamsul (50), tetangga Budi, mengatakan bahwa warga tidak dapat berbuat apa-apa, termasuk menghilangkan busa sabun yang menempel di dinding dan atap rumah. Warga pernah mencoba menyiramkan air ke gumpalan busa, tetapi busa tak hilang. ''Yang timbul malah aroma tidak sedap,'' ujarnya.

Menurut Syamsul, limbah busa tersebut baru bisa berkurang dan hilang saat matahari sudah terbit. ''Cara yang ampuh untuk menghilangkannya memang dengan sinar matahari,'' katanya. Limbah busa sangat meresahkan warga. Selain jumlahnya banyak, limbah yang terbawa juga sering menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa warga sering terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kulit gatal-gatal. Baunya sangat menyengat dan membuat dada menjadi sesak. ''Terutama pada anak-anak,'' ujar Tori (42), warga RT 07 yang salah satu anaknya terkena penyakit asma. Limbah busa juga mencemari air sumur. ''Awalnya air memang terlihat bersih, tapi lama-kelamaan warnanya berubah menjadi biru kehitam-hitaman,'' jelas Tori.

Warga berkeyakinan busa tersebut berasal dari pembuangan limbah industri yang masuk wilayah Depok di dekat Situ Tipar. ''Nggak mungkin kalau limbah rumah tangga karena baunya nyengat sekali,'' ujar Kasim. Meskipun warga sudah menderita, hingga kini belum ada tindakan nyata dari Pemprov DKI, Pemkot Depok, maupun Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). ''Mana hasil tindakan mereka, kok masih begini-begini aja tiap hujan turun?'' kata Kasim, pria yang rumahnya berada tepat di depan air terjun kecil yang berada di aliran Kali Cipinang.

Sutrisno (54), mantan ketua RT 07, mengatakan warga masih mempertanyakan hasil penelitian dan peninjauan yang bertahun-tahun belum ada realisasinya. Tidak ada langkah nyata dari pihak-pihak terkait hingga menyebabkan beberapa warga mengambil langkah sendiri, seperti mengambil sampel air Kali Cipinang yang tercemar limbah busa untuk diteliti di laboratorium Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI). ''Kami tidak sabaran menunggu hasil laboratorium BPLHD DKI yang tak kunjung keluar,'' kata Makmun (53), warga RT 010. Warga juga meminta Wali Kota Jakarta Timur pengaktifan kembali saluran pembuangan bagian timur dari Situ Tipar yang melewati wilayah Bogor dan menuju langsung ke Kali Cipinang. Wali Kota bahkan sudah melihat langsung faktanya di lapangan.

Saluran pembuang bagian barat, menurut Sodikun, ketua RT 010, sudah tidak sesuai dengan bentuk dan arah aslinya. Bentuknya yang seperti anak tangga menyebabkan busa kerap timbul saat aliran air deras. Wali Kota Jakarta Timur, Koesnan A Halim, mengaku hanya memiliki wewenang memperbaiki bentuk saluran air yang menjadi salah satu penyebab timbulnya busa. ''Saya sudah minta Sudin PU Tata Air untuk meninjau ke lokasi dan segera memperbaikinya,'' katanya. ''Kami tidak memiliki wewenang untuk menegur industri-industri tersebut karena mereka masuk wilayah Depok.''

Menurut Kasi Pelayanan dan Penanganan Sengketa Lingkungan BPLHD Jakarta Timur, Ardian Prahara, hasil uji laboratorium sementara yang dilakukan oleh tim BPLHD DKI, BPLHD Depok, dan KLH terhadap limbah busa menunjukkan bahwa unsur dominan yang terdapat dalam sampel air Situ Tipar adalah deterjen. Industri yang ada di sekitar wilayah Situ Tipar belum terindikasi ikut membuang limbah busa ke sungai. Ardian mengatakan, pihaknya telah mengajukan rekomendasi kepada Pemkot Depok untuk membuat sodetan (saluran) baru dari Situ Tipar yang langsung menuju ke Kali Cipinang. BPLHD Jaktim juga akan mengajukan permohonan pembuatan instalasi pengolah air limbah (IPAL) terpadu kepada Pemprov DKI. ''Rencananya tiap 20 rumah memunyai satu buah IPAL,'' tuturnya.

Warga akhirnya menanyakan masalah itu kepada Badan Pengawasan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI. Menurut Kepala Bidang Pengendalian dan Pencemaran Lingkungan BPLHD DKI Jakarta, Junani Kartawiria, sejak pertengahan Oktober 2004 lalu telah dibentuk tim penelitian limbah busa yang menimpa warga Pekayon. Tim terdiri dari BPLHD DKI Jakarta dan BPLHD Depok yang dikoordinasikan dengan kantor Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). ''Ini bukan sekadar masalah pencemaran, tetapi sudah mencakup masalah yang kompleks,'' katanya. Junani mengatakan, masalah tersebut menyangkut kepentingan dua wilayah, yaitu Depok selaku pemilik Situ Tipar dan DKI Jakarta sebagai pihak yang menerima dampak dari pembuangan limbah busa. ''Situnya sendiri sudah mengalami pendangkalan yang begitu berat,'' ujarnya.

Saat Junani bersama tim melakukan peninjauan ke lokasi Situ Tipar beberapa waktu lalu, seluruh perairan situ dipenuhi oleh eceng gondok. ''Ini menandakan air situ bersifat septik (banyak mengandung H2S dan metan akibat proses biologis anaerob),'' ungkapnya. Kondisi itu, jelas Junani, menyebabkan air situ tidak mendapatkan tambahan oksigen yang dapat membantu menguraikan bahan polutan, seperti bahan organik. Bahkan, yang lebih parah di sekitar tepian situ banyak berdiri beberapa rumah tempat tinggal.

Sejauh ini, ungkap Junani, BPHLD DKI dan BPHLD Depok belum dapat memastikan pihak yang harus bertanggung jawab dalam masalah tersebut. ''Situ Tipar kan dapat masukan dari banyak saluran. Jadi, tidak ada yang namanya sumber tunggal,'' katanya.

Limbah Rumah Tangga Menumpuk

Kepala Bidang Pengendalian dan Pencemaran Lingkungan BPLHD DKI Jakarta, Junani Kartawiria, menyatakan bahwa hasil sementara laboratorium BPLHD DKI Jakarta menunjukkan bahwa sumber limbah diduga mengandung deterjen yang dibuang oleh masyarakat yang berada di sekitar hulu tersebut. Terindikasi air mengandung senyawa aktif biru metilen dan fospat. Menurut data BPLHD DKI, menurut Junani, sumber air yang masuk ke Situ Tipar bersumber dari permukiman di sekitarnya, permukiman penduduk di bagian timur Jalan Raya Bogor Pasar PAL (bagian timur Jl Raya Bogor), Pasar Cisalak, industri kecil tahu tempe, dan beberapa industri besar yang masuk wilayah Depok yang umumnya telah memiliki pengolahan limbah sendiri.

Junani mengakui saluran-saluran pembuangan tersebut tidak hanya berasal dari pabrik-pabrik yang ada di sekitar situ, tetapi juga permukiman di sekitar yang memunyai kontribusi membuang limbah deterjen cukup besar. Sebagian besar pabrik yang berada di dekat situ membuang limbah industri langsung ke sungai Kali Baru yang ada di seberang Situ Tipar. Mengenai informasi mengenai limbah busa sabun yang mudah terbakar jika disulut dengan korek api, Junani mengatakan itu belum bisa dijadikan barang bukti pihak-pihak tertentu dapat dipersalahkan dalam kasus itu. ''Ini mungkin insiden. Kita tidak menemukan hal tersebut waktu ke lapangan,'' katanya.

Junani mengatakan, saat ini Pemkot Depok sudah melakukan pemetaan Situ Tipar. Tim juga akan meminta DPU merehabilitasi situ. Dia juga mengakui ada kemungkinan penutupan beberapa saluran yang masuk langsung ke Situ Tipar dan mengalihkannya ke tempat lain.

Menurut dosen peneliti masalah air Departemen Teknik Gas dan Petrokimia (TGP) Fakultas Teknik Universitas Indonesia, DR Ir Setijo Bismo DEA, paling sedikit ada 9-10 parameter kesehatan untuk mengetahui air tercemar atau tidak. Parameter kesehatan tersebut, antara lain TDS (total dissolve solid atau total padatan terlarut), konduktivitas, derajat keasaman (pH), TSS (total suspended solid atau total padatan tersuspensi), TOC (total organic compounds atau total kandungan senyawa-senyawa organik, terutama senyawa fenolik dan senyawa-senyawa organik terklorinasi), kandungan senyawa-senyawa nonorganik (seperti senyawa sulfida, sianida, fosfat, dan amonia), BOD5 (biological oxygen demand), COD (chemical oxygen demand), dan kandungan bakteri E coli dan coliform.

Di samping itu, kata Setijo, kondisi air kemungkinan besar mengandung logam jika nilai TDS berada di atas ambang 100 mg/liter. Batas ambang senyawa fosfat di dalam air 0,1 mg/liter. Air yang mengandung senyawa fenolik dan senyawa-senyaw organik terhalogenasi yang dikategorikan dalam golongan limbah B3 (yang disebutkan dalam PP No 18 Tahun 1999), menurut Setijo, dikhawatirkan mengandung senyawa-senyaws karsinogenaik, seperti PCBs (polychlorinated byphenils), PAH (polycyclic aromatic hydrocarbons), PCDF (polychlorinated dibenzofurans), atau bahkan dioksin dan kongenernya (polychlorinated dibenzodioxins). Senyawa itu sangat berbahaya bagi kesehatan, salah satunya dapat menyebabkan kanker. ''Meskipun jumlahnya kurang dari satu miligram per liter,'' tuturnya.

Setijo menyatakan, umumnya senyawa-senyawa organik terklorinasi digunakan oleh industri-industri yang memproduksi kabel, pestisida, dan tekstil. Limbah cair industri-industri yang menggunakan bahan-bahan logam berat, seperti raksa (Hg), mangan (Mn), krom (Cr), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan senyawa arsenik agak sulit diidentifikasi dengan cepat jika satu sama lain sudah saling tercampur. Di Indonesia saat ini belum banyak laboratorium yang mampu mengidentifikasikan dengan cepat dan umumnya tidak murah.

Setijo mengakui logam dan logam berat, seperti As, Ba, Cd, Cr, Pb, Hg, Ni, Se, Ag, dan Zn, termasuk dalam kategori limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) sehingga penggunaannya untuk industri sangat tidak dianjurkan atau harus dipantau dengan ketat. Ini sudah diatur dalam Kepmen LH No 51/1995. Namun, beberapa industri kimia, cat, penyamakan kulit, pelapisan logam, komponen elektronika, dan mungkin juga industri baterai sel kering dan basah masih banyak yang mengunakannya meski dalam jumlah sedikit.

Untuk limbah deterjen, menurut Setijo, ambang batasnya relatif kecil untuk perairan umum, yaitu lima mg/l yang dinyatakan dalam MBAS (methylene blue active substances) sesuai Kepmen LH No 51/1995. Jika limbah deterjen ini dibuang ke dalam suatu perairan, seperti setu, dalam jumlah yang banyak hanya akan menghalangi oksigen masuk ke dalam perairan. ''Senyawa-senyawa turunan ABS dan atau ALS yang terkandung dalam deterjen industri dan rumah tangga akan membentuk lapisan tipis di atas permukaan air,'' ujarnya. ''Lapisan tipis inilah yang mengahalangi oksigen masuk,'' tambahnya lebih lanjut.

Setijo mengaku pernah diminta oleh salah seorang warga Pekayon yang rumahnya sering tertimbun limbah busa untuk meneliti sampel air Kali Cipinang yang melintas di depan rumahnya. Namun, sejauh ini dia belum dapat memastikan hasil analisis (uji cepat) terhadap sampel air Kali Cipinang tersebut. ''Hasil tersebut belum dapat dijadikan acuan bahwa air Situ Tipar tercemar oleh limbah industri karena perlu penelitian lebih lanjut,'' ungkapnya. Setijo berharap ada tim yang independen, baik dari KLH maupun perguruan tinggi, yang bisa memberikan hasil penelitian yang komprehensif. Langkah ini untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak.

Laporan : c25

Post Date : 23 Desember 2004