Warga yang Mengungsi Membeludak

Sumber:Kompas - 07 November 2012
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Medan, Kompas - Warga korban banjir di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, yang mengungsi, Selasa (6/11), makin banyak. Jika jumlah pengungsi sehari sebelumnya sekitar 2.500 orang, hingga sore kemarin menjadi 4.554 jiwa. Bahkan, mereka mulai terserang demam, gatal-gatal, dan batuk. Banjir di kabupaten itu meluas dan sempat merendam lebih dari 2.000 rumah di enam kecamatan.
 
Sedikitnya 327 warga yang kini mengungsi memeriksakan kesehatan mereka ke pos kesehatan. Selama dua hari ini, sejak Senin, mereka terserang gatal- gatal, batuk, dan demam. ”Sejak tadi malam dia demam setelah main air bah,” kata Baria Hasibuan (29), sambil menggendong putranya, Jose Marbun (2,5), untuk diperiksa petugas kesehatan.
 
Afifah Azmi (10) pun demam dan muntah-muntah setelah bermain air banjir di halaman rumahnya. Warga Desa Sei Rampah, Kecamatan Sei Rampah, itu terpaksa membolos sekolah.
 
Bidan Puskesmas Pangkalan Budiman, Sei Rampah, Marintan Barus, menjelaskan, warga yang terserang penyakit umumnya anak-anak. Mereka kerap bermain air banjir. Padahal, air banjir membawa berbagai kuman dan bakteri karena segala kotoran ikut hanyut. Warga pun diminta menghindari mandi atau bermain air banjir.
 
Air sempat meninggi
 
Air banjir di Serdang Bedagai sempat meninggi hingga 2,3 meter pada Senin malam, tetapi menyurut hari Selasa. Minggu malam ketinggian air mencapai 2 meter.
 
Peningkatan tinggi air ini menyebabkan luasan banjir bertambah dari sebelumnya merendam sekitar 1.910 rumah menjadi lebih dari 2.000 rumah. Rumah itu tersebar di Kecamatan Sei Rampah, Dolok Masihul, Sei Bamban, Tanjung Beringin, Teluk Mengkudu, dan Perbaungan.
 
Selain di Serdang Bedagai, banjir pun dilaporkan merendam ratusan rumah di Desa Samba Bakumpai, Kecamatan Katingan Tengah, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Banjir disebabkan luapan Sungai Katingan.
 
Menurut Kepala Desa Samba Bakumpai, Abdul Halim, Selasa, banjir terjadi sejak akhir pekan lalu. Permukaan air turun pada Minggu lalu, tetapi segera naik lagi. Jumlah rumah warga yang terendam mencapai 174 unit. Ketinggian banjir mulai berkurang menjadi sekitar 1 meter meskipun di sejumlah lokasi masih merendam rumah.
 
Di Sumut, banjir dilaporkan juga melanda sembilan desa di Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang. Air Sungai Ular, Paluh Kemiri, dan Kualanamu yang meluap menggenangi sekitar 1.700 rumah warga (Kompas, 5/11). Banjir di daerah tersebut mulai surut, seperti yang terjadi sebelumnya di wilayah Kabupaten Melawi dan Sintang, Kalimantan Barat.
 
Laut pun pasang
 
Banjir di Serdang Bedagai dipicu oleh air Sungai Sei Rampah, Sei Buluh, dan Sei Belutu yang meluap karena hujan lebat terus mengguyur daerah itu dalam tiga hari terakhir. Saat hujan reda, air menyurut, tetapi sangat lambat. Dalam kurun enam jam, ketinggian air hanya berkurang tak lebih dari 30 sentimeter.
 
Wakil Bupati Serdang Bedagai Soekirman menjelaskan, air bah itu sulit surut lantaran laut juga tengah pasang. ”Seandainya air laut surut, saya yakin air banjir cepat juga lari ke laut dan surut,” ujarnya.
 
Banjir di Serdang Bedagai selama tiga hari ini melumpuhkan aktivitas warga. Sejumlah sekolah terpaksa diliburkan. Warga tidak bisa bekerja karena sibuk mengurus keluarga dan rumah. ”Sudah tiga hari ini saya tidak berjualan. Kalau pasokan makanan habis, minta ke posko,” kata Yusuf Lubis (29), warga yang memilih bertahan di rumah.
 
Camat Sei Rampah Fajar Simbolon menjelaskan, warga tidak mungkin beraktivitas sebelum banjir surut. Lagi pula, sedikitnya 40 hektar lahan perkebunan dan persawahan turut terendam banjir sehingga warga tidak bisa bekerja.
 
Soekirman pun mengakui, banjir terjadi, antara lain, karena hujan lebat, pendangkalan Sungai Sei Rampah, dan alih fungsi lahan. Lahan hutan yang rusak akibat pembalakan liar atau beralih menjadi perkebunan sawit turut menjadi pemicu.
 
Kebun kelapa sawit
 
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Sumut Timbas Prasad Ginting keberatan jika perkebunan kelapa sawit dituding sebagai penyebab banjir. Banjir disebabkan oleh anomali cuaca, pembalakan hutan di daerah hulu, dan pendangkalan sungai.
 
”Memang ada lahan yang beralih menjadi kebun kelapa sawit. Namun, perlu dilihat dahulu betul atau tidaknya perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan banjir. Kelapa sawit banyak menyerap air,” ujarnya.
 
Soekirman menjelaskan, perkebunan kelapa sawit menyerap banyak air, tetapi tak bisa meredam larian (run off) air karena tidak memiliki belukar. Hal itu berbeda dengan hutan yang semak belukarnya turut menghambat laju larian air.
 
Ia menambahkan, alih fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit turut andil dalam memperparah banjir. Dia mencontohkan, di Desa Cempedak Lobang terdapat sedikitnya 200 hektar lahan yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak 15 tahun lalu. Desa ini merupakan daerah yang terparah terkena banjir. Seandainya lahan ini tepat menjadi hutan, tentu banjir tidak separah sekarang.
 
Dari Sumatera Barat, Selasa, Rico Rahmad dari Sekretariat Bersama Pencinta Alam menuturkan, timnya akan melakukan ekspedisi ke hulu Sungai Kuranji, Kota Padang. Ekspedisi tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebab banjir Juli lalu. (MHF/BAY/INK)


Post Date : 07 November 2012