Waspada, Bandung Bisa Jadi Lautan Sampah

Sumber:Kompas - 10 Januari 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Jarum jam menunjukkan pukul 08.30 wib. Arus lalu lintas di depan Hotel Holliday Inn, jalan Ir H. Djuanda masih terasa lenggang. Namun, Minggu (19/12) pekan lalu itu, sebuah pemandangan tak biasa terlihat di kawasan tersebut. Ratusan pelajar berbaris berkelompok di jalur trotoar jalan tersebut, sembari memegang sapu, pengki dan plastik hitam berukuran besar.

Di bawah komando sejumlah mahasiswa, mereka pun bersemangat neriakan yel-yel penuh gelora. Rupanya, pemandangan yang sama tak hanya berlaku di kawasan tersebut. Depan Heritage Factory Outlet di jalan RE. Martadinata, sebanyak 250 pelajar melakukan kegiatan yang sama. Adakah mereka sedang berdemo? Tidak!

Ke lima ratus pelajar tersebut, ternyata merupakan peserta dari Karya Kita Sahabat Kita (KKSK) yang terlibat dalam kegiatan Festival Bersihkan Kota, yang digelar Warga Akar bekerjasama dengan Program Bimbingan Anak Sampoerna (PBASampoerna). Ahad pagi itu, mereka menggelar operasi semut, memunguti sampah yang berceceran di sepanjang jalur yang mereka lalui.

Tepat pukul 09.00 pagi, 500 pelajar dari dua titik itu mulai bergerak. Memunguti sampah yang berserakan di mana-mana. Kelompok pelajar di jalan Ir. H. Djuanda bergerak menempuh jalur Jln. Merdeka, Jln. Aceh, Jln. Sumatra, dan berakhir di Taman Lalu Lintas. Sedang kelompok pelajar dari Heritage di Jln. Martadinata bergerak ke Jln. Sumatra, Jln. Aceh, Jln. Sumbawa, dan bertemu di Taman Lalu Lintas.

Dari hasil operasi semut yang dilakukan 500 pelajar tersebut, setidaknya berhasil terkumpul sebanyak 250 kantung plastik sampah. "Sampah-sampah yang kami pungut baru dari jalan, belum termasuk yang ada di saluran air. Sampahnya banyak banget," kata Alyani, salah satu peserta KKSK dari SMP 3 Bandung, yang bergerak dari Heritage FO, jalan Martadinata.

Masalah sampah, memang menjadi masalah besar di sejumlah kota besar, seperti Bandung. Banyak faktor penyebabnya, selain rendahnya kesadaran membuang sampah pada tempatnya, ketersedian sarana dan fasilitas juga menambah runyam kondisi tersebut.

Bayangkan saja, potensi sampah yang dihasilkan di Kota Bandung mencapai 3.677.377 meter kubik per harinya. Dari jumlah tersebut, Dinas Kebersihan kota Bandung hanya mampu mengangkut 82 persennya saja. Sisanya? Ya, apalagi kalau tidak dibuang serampangan, di saluran air, kali dan jalan-jalan.

Nah, jika kita coba hitung-hitungan dari angka di atas berarti tiap harinya jumlah sampah yang tak terangkut terbilang sebanyak 661.927 m3. Jika dikali satu bulan maka terbilang 19.857.835,8 m3 dan setahun muncul angka 238.294.029,6 m3. Sudah dipastikan, dengan angka sebesar itu, Bandung akan menjadi kota lautan sampah.

Apa yang dilakukan para pelajar peserta KKSK, tentu bukanlah upaya menyelesaikan masalah tersebut. Tapi, setidaknya menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat Bandung akan pentingnya lingkungan yang bersih.

Sepeti kata Niken Rachmad, Head of Corporate Communications PT HM Sampoerna Tbk, kegiatan tersebut merupakan sebuah gerakan moral. Anak-anak sengaja diajak untuk memberi contoh kepada masyarakat Bandung dan menumbuhkan kesadaran sejak dini. "Mudah-mudahan pesan ini bisa ditangkap oleh warga Bandung," ujarnya.

Sebanyak 450 pelajar dari sembilan sekolah (SD dan SMP) di Kota Bandung, plus 50 anak panti asuhan terlibat program KKSK, yang digelar kedua kalinya di Bandung. Kelima ratus anak tersebut berasal dari SDN Coblong, SDN Babakan Ciparay, SDN Banjarsari, SDN Merdeka, SDN Pajagalan 47, SMPN 3, SMPN 5, SMPN 7, SMPN 38, dan Panti Asuhan Muhammadiyah.

Sebelum menggelar kegiatan operasi semut, Ahad (19/12) lalu, para peserta KKSK tersebut, mendapatkan workshop berupa pemahaman tentang kondisi sampah di kota Bandung, serta pelatihan melukis pada tong-tong sampah. Tong-tong itulah nantinya akan disebar di sekolah mereka dan sekolah-sekolah lainnya. Workshopnya sendiri dilangsungkan sejak tanggal 28 November dan 4-5 Desember lalu.

Dalam kegiatan tersebut, mereka mendapat bimbingan melukis dari mahasiswa jurusan seni lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). "Tema yang dipilih adalah tema lingkungan hidup. Kami hanya memberikan bimbingan teknik dasar melukis yang baik untuk kemudian membebaskan mereka menuangkan imajinasi mereka tentang Bandung," kata Beatrix, salah satu mentor dari jurusan Seni Lukis ITB.

Sebanyak 500 pasang tong sampah menjadi medium para peserta untuk menuangkan imajinasi mereka. Hasilnya? Luar biasa. Anak-anak mampu memotret wajah Bandung ala kadarnya, jujur tanpa dibuat-buat. Bandung dalam benak mereka, boleh jadi bukan kota yang nyaman di huni saat ini. Sampah berserakan di mana-mana hingga polusi kendaraan yang membuat Bandung terasa gerah. Gambaran itulah yang terekam lewat lukisan yang dibuat, Ira pelajar SMPN 3 Bandung.

Ira melukiskan Bandung dengan dipenuhi Mal bertingkat, kepulan asap dari pabrik dan kendaraan. Kondisi inilah yang membuat orang, kucing dan matahari terpaksa memakai penutup hidung. Lukisan itulah yang kemudian diapresiasi sejumlah wartawan sebagai lukisan terbaik, lantaran ide dan penyampaian yang kreatif.

"Melukis hanya sebagai media dalam mendekatkan anak-anak terhadap lingkungannya. Kita berharap muncul pemahaman dan wawasan baru terutama tentang lingkungan di Bandung, dan membimbing mereka untuk mau peduli, setidaknya berawal dari diri mereka dulu. Virus inilah yang kami coba sebarkan," ujar Darfi Riskavirwan dari komunitas remaja peduli lingkungan Warga Akar.

Gerakan yang dipelopori Warga Akar dengan melibatkan pelajar di Bandung, setidaknya menjadi semacam oasis di tengah kelangkaan kepedulian masyarakat terhadap kotanya sendiri. Ya. Sudah banyak orang tahu jika Bandung kini memang tak senyaman dulu. Aroma kesejukan, dan keramahan kotanya tak lagi terasa. Bandung saat ini justru makin pakusut, seiring dengan bertambahnya penduduk yang mencapai 2,5 juta lebih jiwa. Angka ini, tentu saja telah melampaui ambang batas.

Ketika pertama kali dibentuk sebagai Gemeente (semacam kotamadya), 1 April 1906, penduduknya 38.403 jiwa dengan luas wilayah 1.922 hektar. Kini dengan luas wilayah sekitar 17.000 hektar, jumlah penduduknya 2,5 juta jiwa. Ini berarti, kepadatan rata-rata penduduk sekitar 110 jiwa per hektar, jauh di atas standar yang ditetapkan PBB, 60 jiwa per hektar (Kompas/6/12).

Bandung kini pinuh kutangtung. Sayangnya, penambahan penduduk Bandung tidak diikuti dengan kesadaran yang tinggi dalam mempertahankan kenyamanan kotanya. Masih banyak pihak yang membuang sampah tidak pada tempatnya, di ruas-ruas jalan hingga solokan.

Pemandangan semacam ini, tentu saja bisa dilihat di sejumlah sentra perdagangan tradisonal. Di kawasan Pasar Andir, misalnya, setiap hari sampah dari pasar tersebut menumpuk di pinggir Jalan Sudirman, Bandung. Kondisi ini akhirnya turut menjadi faktor penyebab kemacetan lalu lintas, karena hampir setengah badan jalan dipenuhi tumpukan sampah.

Ironisnya, tak hanya para pedagang yang membuang sampah di kawasan tersebut. Warga sekitar pun ikut membuang sampah di area jalan.

Nah, memasuki musim penghujan tahun ini, sampah-sampah dari selokan kemudian meluap ke jalan-jalan. Ditambah dengan buruknya sistem saluran pembuangan air, menyebabkan sejumlah ruas jalan terendam air. Pemandangan itu bisa tampak di Jalan Kopo, Jalan Margacinta, Jalan Ranca Bolang, dan Kompleks Perumahan Margahayu.

Pemerintah daerah memang tak bisa berbuat banyak. Keterbatasan sarana dan prasarana, menjadi alasan klasik yang seringkali diutarakan. Andai saja, Pemda di Tanah Air mau belajar dari kasus yang pernah dialami walikota Chiang Mai, kota kedua terbesar di Thailand, rasa-rasanya, impian kota untuk lepas dari masalah sampai bisa terwujud. Ya, dua walikotanya, harus menerima pemecatan lantaran tak becus dalam menyelesaikan permasalahan sampah di kotanya.

Bandung, seperti yang dicita-citakan planolog VL Stoors--Arsitek dipercaya Gubernur Jenderal Hindia Belanda, JB Van Heutz, untuk menata Bandung sejak 1918, sebagai kota percontohan yang ideal di Hindia Belanda kala itu, malah makin jauh dari kenyataan.

Rasanya, tak hanya Stoors yang pantas bersedih. Mereka yang punya keterikatan bathin dengan kota ini pantaslah bersedih. Mungkin, 20 hingga 30 tahun ke depan, Bandung hanyalah sebuah kota yang "dihiasi" hamparan sampah yang menggunung dan menebar semerbak bungai bangkai... (eko hendrawan)

Post Date : 10 Januari 2005